Sunday, April 21, 2013

Anggaran Pendidikan 20% APBN: Antara Desakan Konstitusi dan Realitas Implementasi, Menuju Bangsa yang Lebih Besar

Anggaran Pendidikan 20% APBN: Antara Desakan Konstitusi dan Realitas Implementasi, Menuju Bangsa yang Lebih Besar I. Pendahuluan Menurut UU SISDIKNAS no. 20 tahun 2003, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Sebagai tuntutan reformasi, UUD mengalami amandemen empat kali. Terakhir pada ST MPR 1-11 Agustus 2002, yang salah satunya mengangkat isu anggaran pendidikan 20% APBN. Hal tersebut merupakan buah konstruktif reformasi yang dengannya kita berharap bangsa Indonesia semakin memiliki daya saing global. Namun sayangnya, enam tahun berlalu dan amanat konstitusi ini belum juga menemukan titik cerah. Pemerintah baru merealisasikannya tahun ini sehingga belum bisa dievaluasi secara komprehensif. Pada tanggal 13 Agustus 2008, Presiden akhirnya menginstruksikan perealisasian anggaran pendidikan 20% APBN untuk tahun berikutnya. Sebelumnya, MK (Mahkamah Konstitusi) telah mengabulkan permohonan uji materi dari PGRI (Persatuan Guru Seluruh Indonesia). Sehingga setelah itu mengultimatum pemerintah untuk merealisasikannya paling lambat tahun 2009. Berikut penulis sertakan grafik pergeseran komposisi anggaran pendidikan di APBN Indonesia lima tahun terakhir. Kita melihat grafik menanjak walau perlahan. Sudah sejak lama, perbincangan menyoal amanat konstitusi yang belum terpenuhi ini menghangat bagi berbagai pihak. Mulai dari yang kecewa dan menggugat, sampai yang memaklumi realita dan menghargai usaha pemerintah. II. Pentingnya Alokasi Anggaran 20% APBN Untuk Pendidikan Data tahun 2003: anggaran pendidikan Singapura mencapai 27%, Malaysia 22% dan 2008 mencapai 26%, sementara Thailand 21%. Malaysia yang dulu mengimpor guru Indonesia, telah jauh melesat. Dengan komposisi anggaran yang besar, pemerintahnya sukses menanggung beasiswa pelajar dan mahasiswa di luar negeri. Dan Singapura Si Negara Kota, mengaku telah melewati fase Pembangunan Landasan Riset dan Pengembangan sejak lama, yang ditandai salah satunya dengan pendirian Dewan Teknologi dan Sains Nasional tahun 1991. Di sini tampak bahwa bangsa Indonesia tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Kita menyaksikan rendahnya kemauan politik pihak eksekutif, setidaknya sebelum masa kabinet Indonesia Bersatu. Oleh karena itu, kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memandang jauh ke depan. Kepemimpinan yang seharusnya mencetak tunas-tunas baru guna meneruskan pembangunan, mewariskan keteladanan dan membuat sistem yang positif dan efektif untuk pendidikan. Pemerintah perlu serius mencanangkan program-program regenerasi SDM dan National Character Building yang prospektif. Semua hal di atas merujuk pada satu tujuan, yaitu peningkatan kecerdasan bangsa yang kontinu. Dan pasti harus ada yang dikorbankan, harus ada skala prioritas yang diatur. Sepantasnya pendidikan mendapat porsi besar, mengingat kekeliruan orientasi pembangunan orde baru yang terlanjur berlarut-larut. Berdasar data IMD (International Institute for Management Development ) World Competitiveness Yearbook 2008, Indonesia berada di urutan ke-51 dari 55 negara. Meski naik dibanding tahun sebelumnya (ke-54), Indonesia tetap terendah di ASEAN. Singapura bertengger di peringkat kedua, Malaysia ke-19, Thailand ke-27, dan Filipina ke-40.[i] Tak pelak, kenyataan tersebut adalah aib yang harus segera diperbaiki. Mengapa harus 20%? Angka 20% merupakan amanat konstitusi yang keluar dari ST MPR 2002, dan penetapannya membandingkan anggaran milik negara-negara tetangga yang juga berada di kisaran tersebut. Maka tak selayaknya menyebut ukuran ini emosional dan frontal. Aspek lain yang penting untuk kita cermati adalah implementasinya. “Anggaran di Depdiknas yang benar-benar berkaitan langsung dengan program pendidikan (tupoksi) hanyalah sebesar Rp 7,5 triliun yang antara lain meliputi anggaran untuk rehabilitasi sekolah, beasiswa, perpustakaan,” ujar Koordinator Analisis dan Kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto, di Jakarta, Selasa (5-6-2007). Menurutnya, melalui analisis mendalam tentang Rencana Kegiatan Anggaran Kementerian / Lembaga (RKA-KL) Depdiknas 2007, pos yang paling menyedot anggaran adalah birokrasi (Rp 29 triliun) dan publikasi-sosialisasi (40%).[ii] Tanpa pengalokasian yang baik, anggaran besar Depdiknas tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali pemborosan dan ladang korupsi. Perlu ditekankan efektifitas penggunaan dengan disiplin, di samping pengurangan jumlah pegawai. Membludaknya jumlah PNS justru sangat membebani penggajian dan menjadikan kinerja lembaga tidak efisien. Jika dana besar ini dikelola dengan baik, rakyat akan benar-benar merasakan hasilnya secara langsung. Karena potensi pemberdayaan dana Rp 224 triliun atau 20 persen ini pada dasarnya memang sungguh menjanjikan. Badan Pembinaan TK dan SD Depdiknas beberapa waktu lalu merilis data bahwa untuk SD / MI saja, terdapat 85 ribu bangunan rusak atau separuh dari jumlah keseluruhan.[iii] Betapa bobroknya infrastruktur, namun belum cukup direspon oleh pemerintah. Ironisnya, di sisi lain, industri properti berkembang maju didukung legislasi yang dipermudah dan pangsa pasar menengah ke atas yang prospektif. Haluan orientasi harus dirubah dari pembangunan infrastruktur menuju penekanan pada pembangunan moral dan pendidikan bangsa. Pos infrastruktur pendidikan yang memang pantas menyedot anggaran besar, bisa menutupi kebocoran anggaran di Depdiknas yang tampaknya memang kurang siap menyerap gelontoran dana yang begitu besar dari APBN. Selain itu, Indonesia juga masih membutuhkan sebuah konsep kurikulum yang komprehensif dan konsisten guna efisiensi pengadaan sarana dan prasarana. Juga bertujuan untuk menyetarakan pemajuan di berbagai bidang pendidikan. Untuk poin ini, pemerintah jangan ‘memberi ikan’ dengan langsung fokus pada program pengonsepan terpadu, namun lebih ’memberi kail’ dengan memfasilitasi badan-badan penelitian dan badan-badan pengembangan mandiri dengan insentif cair. Dengannya, swasta akan terdorong untuk lebih konsen membantu dunia pendidikan. Kurikulum paten yang dinantikan pun akan lebih mengena ke masyarakat. III. Mengapa Baru Sekarang Anggaran Pendidikan 20% Diterapkan Kita akui bahwa warisan utang rezim terdahulu ditambah biaya transisi sistem menuju keterbukaan sangatlah berat, belum lagi dengan krisis global yang melibas seluruh negara. Dan berkat usaha kuat dan itikad baik pemerintah juga akhirnya Bank Indonesia berhasil melunasi sisa utang IMF pada Oktober 2006 dan CGI bubar beberapa bulan kemudian. Selain itu, memang pembangunan infrastuktur cukup tampak hasilnya berupa sarana transportasi, perumahan, pembangunan jalan raya dan beberapa contoh lain. Penghambat realisasi adalah rendahnya kemauan politik dari pemerintah. Dalam masa transisi ini, kehidupan politik tersibukkan oleh euphoria demokrasi. Pemerintah direpotkan untuk mengamankan kekuasaan dan menjaga stabilitas dari rongrongan oposisi, alih-alih fokus menyelesaikan utang konstitusi. Terbangunnya pemerintahan yang lebih reformis dan lebih anti status quo setelah itu, menghasilkan kinerja yang profesional dan bertanggung jawab. Tak dipungkiri juga, di sisi lain bangkitnya kesadaran masyarakat untuk menuntut hak-haknya (di antaranya adalah soal pendidikan terjangkau) menyumbang andil yang tidak sepele. Meluasnya kaum terpelajar membantu menyebarkan pengertian yang lebih jelas bagi rakyat tentang konstitusi yang masih terganjal untuk direalisasikan, dalam hal ini anggaran pendidikan 20% di APBN. IV. Kesimpulan dan Rekomendasi Beberapa fakta dan realita yang bisa ditetapkan dari analisa di atas adalah: Pertama, ketertinggalan Indonesia dalam hal pendidikan dibanding negara-negara tetangga. Kedua, terganjalnya amanat konstitusi selama beberapa tahun. Ketiga, implementasi anggaran yang masih belum rapi. Dan keempat, pengembalian makna penting pendidikan bangsa. Berdasarkan itu semua, penulis merekomendasikan hal-hal di bawah ini untuk membantu penerapan anggaran pendidikan 20%: Pertama, pihak pemerintah eksekutif untuk lebih konsen menerapkan tujuan besar dibalik anggaran 20%. Kedua, masyarakat untuk terus membuka opini publik soal beban keterbelakangan pendidikan Indonesia. Terakhir, Depdiknas selaku pelaksana teknis untuk lebih mengoptimalkan anggaran besar itu, dan mengalokasikannya dengan efisien dan efektif. Semuanya adalah untuk kebaikan kita bersama, keharuman nama negara tercinta yang harus diawali dari memprioritaskan sektor pendidikan.

No comments:

Post a Comment